Selasa, 20 November 2012

AMMAA Huruf Syarat, Taukid, Tafsil, bukan Amil Jazm » Alfiyah Bait 712-713

–·•Ο•·–

أَماَّ وَلَوْلاَ وَلَوْمَا

Bab AMMAA, LAWLAA dan LAWMAA
أَمَّا كَمَهْمَا يَكُ مِنْ شَيءٍ وَفَا ¤ لِتِلْوِ تِلْوَهَا وُجُوباً أُلِفَا

Huruf syarat “AMMAA” seperti makna “MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” (apapun yg ada/bagaimanapun). Sedangkan FA’ wajib dipasang pada yg mengiringi pengiringnya (yakni pada Jawab yg mengiringi Syaratnya).
وَحَذْفُ ذِيْ الفَا قَلَّ فِيْ نَثْرٍ إذَا ¤ لَمْ يَكُ قَوْلٌ مَعَهَا قَدْ نُبِذَا

Pembuangan FA’ ini (yakni FA’ Jawab) jarang terjadi pada kalam natsar, (kecuali) apabila jawabnya berupa lafazh “QOUL” yg dibuang bersama FA’nya.

–·•Ο•·–

“AMMAA” termasuk dari huruf syarat yg bukan amil jazm, berfaidah taukid dan sering dipergunakan untuk Tafsil.
· Bukti sebagai huruf syarat : Lazim menggunakan FA’ pada jawabnya.
· Bukti berfaidah taukid : sebagaimana ulama nahwu menyebutnya “harfun yu’thi al-kalaama fadhla taukiidin” yakni huruf yg berfaidah melebihkan kalam dengan nilai taukid, contoh kalimat “ZAIDUN DZAAHIBUN” kalau dikehendaki zaid sudah pasti perginya maka diucapkan dengan kalimat “AMMAA ZAIDUN FA DZAAHIBUN”.
· Bukti sering dipergunakan untuk tafsil : diulang-ulangnya pada tiap-tiap bagian tafsilannya, contoh dalam Al-Qur’an (QS. Adh-Dhuha 9-10)
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ

FA AMMAA AL-YATIIMA FA LAA TAQHAR, WA AMMAA AS-SAA’ILA FA LAA TANHAR. = Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. (QS. Adh-Dhuha 9-10).

Terkadang tanpa diulang dengan mencukupi penyebutan AMMAA pada salah-satu bagian tafsilnya, contoh dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran 7):
فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ

FA AMMAA AL-LADZIINA FII QULUUBIHIM ZAIGHUN fa yattabi’uuna maa tasyabaha minhubtighaa’al-fitnati wab-tighaa’a ta’wiilihi wa maa ya’lamu ta’wiilahu illallaahu. WAR-ROOSIKHUUNA FIL-’ILMI YAQUULUUNA AAMANNAA BIHI = Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat… (QS. Ali Imran 7).

Ayat ini pada kalimat tafsil kedua seakan berbunyi : “AMMAA” AR-ROOSIKHUUNA FIL-’ILMI “FA” YAQUULUUNA AAMANNAA BIHI..

Terkadang penggunaan AMMAA terlewatkan tanpa fungsi Tafsil, contoh :
أما زيد فمنطلق

AMMAA ZAIDUN FA MUNTHALIQUN = Bagaimanapun… Zaid sudah pergi.

Lafazh AMMAA disini menempati posisi “Adat Syarat + Fi’il Syarat” oleh karena itu Imam Sibawaih menafsirinya dg kalimat: “MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” (apapun yg ada/bagaimanapun). sedangkan lafazh yg jatuh setelah AMMAA disebut Jawab Syarat, karena itulah diwajibkan memasang FA Jawab sebagai robit/kaitan antara Jawab dan Syarat.
Contoh apabila kamu mengucapkan :
أما علي فمخترع

AMMAA ‘ALIYYUN FA MUKHTARI’UN = Bagaimanapun… Ali lah penemunya.

Maka penakdiran asal kalimatnya adalah :
مهما يك من شيء فعلي مخترع

MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN = apapun adanya Ali lah penemunya.

I’lal Kalimat :

lafazh “AMMAA” menggantikan lafazh ” MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” maka menjadi “AMMAA FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN” kemudian huruf FA’nya diakhirkan pada Khobar, maka menjadi ” AMMAA ‘ALIYYUN FA MUKHTARI’UN”.
Huruf FA’ tersebut wajib dipasang pada Jawab sebagai Robit Mujarrad. Tidak boleh membuang FA’ kecuali jawabnya berupa lafazh QOUL yg dibuang, maka umumnya FA’nya juga ikut dibuang, contoh dalam Al-Qur’an :
فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ: “أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ…”

FA AMMAL-LADZIINA-SWADDAT WUJUUHUHUM: “AKAFARTUM BA’DA IIMAANIKUM…” = Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman?..” (QS. Ali Imran 106)

Fa’ dan Jawab yg dibuang tersebut takdirannya adalah :
فَيُقَالُ لَهُمْ: أَكَفَرْتُم…

FA YUQOOLU LAHUM: “AKAFARTUM… = maka dikatakan kepada mereka : “Kenapa kamu kafir….”

FA YUQOOLU LAHUM = Jawab berupa Lafazh Qoul.
AKAFARTUM = Maquul/isi dari Qoul.
Lafazh Qoul dibuang dicukupi dengan adanya Maquul, dan FA’nya otomatis ikut terbuang, sesuai kaidah “Yashihhu tab’an maa laa yashihhu istiqlaalan” (shah diikutkan bagi suatu yg tidak shah dilepaskan).

Selain tersebut diatas, pembuangan FA’ pada kalam Natsar (Selain pada Lafazh QOUL yg terbuang) juga ditemukan tapi sedikit adanya.

Contoh dalam Hadits Rosulullah bersabda :
أَمَّا مُوسَى كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ إِذْ انْحَدَرَ فِي الوَادِي يُلَبِّي
أَمَّا بَعْدُ، مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ

CONTOH I’ROB
أما علي فمخترع

AMMAA ‘ALIYYUN FA MUKHTARI’UN

AMMAA = Huruf Syarat, Taukid, pengganti kalimat “Mahmaa Yaku Min Syai’in”, Mahal Rofa’ menjadi Mubtada’.
ALIYYUN = Rofa’ menjadi Mubtada’
FA MUKHTARI’UN = “Fa” sebagai Robit, “Mukhtari’un” sebagai Khobar dari Mubtada’.
Jumlah Ismiyah “Aliyyun Fa Mukhtari’un” tidak menempati mahal I’rob sebagai Jawab dari Syarat yg bukan Amil Jazem.
مهما يك من شيء فعلي مخترع

MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN

MAHMAA = Isim Syarat, Amil Jazem, menjadi Mubtada’.
YAKU = Fi’il Mudhari’ Tamm diJazemkan oleh Mahmaa menjadi Fi’il Syarat.
MIN SYAI’IN = “Min” huruf Jar Zaidah, “Syai’in” menjadi Fa’il, di I’rob rofa’ dengan Dhammah yg dikira-kira dg harkat kasroh dan tercegah I’rob zahirnya karena dimasuk huruf Jar Zaidah.
FA ‘ALIYYUN = “Fa” huruf tanda jawab yg dipasang pada Jawab syarat. “Aliyyun” Mubtada’.
MUKHTARI’UN = Khobar dari mubtada.
Jumlah “Fa Aliyyun Mukhtari’un” adalah Jumlah Ismiyah dalam mahal jazem menjadi Jawab Syarat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar