Selasa, 20 November 2012

Pengertian Istighol » Alfiyah Bait 255

–••Ο••–

إِنْ مُضْمَرُ اسْمٍ سَابِقٍ فِعْلاً شَغَلْ ¤ عَنْهُ بِنَصْبِ لَفْظِهِ أَوِ الْمحَلّ

Jika DHAMIR dari ISIM SABIQ (Isim yg mendahului dalam penyebutannya) merepotkan terhadap Fi’ilnya, tentang hal yang menashabkan lafazh Isim Sabik ataupun mahalnya.
فَالسَّابِقَ انْصِبْهُ بِفعْلٍ أُضْمِرَا ¤ حَتْماً مُوَافِقٍ لِمَا قَدْ أُظْهِرَا

Maka: nashabkanlah ISIM SABIK tersebut oleh FI’IL yang wajib disimpan dengan mencocoki terhadap FI’IL yang dizhahirkan.

–••Ο••–

Definisi ISTIGHOL menurut bahasa adalah: kesibukan.
Definisi ISYTIGHOL menurut istilah nahwu adalah: Mengedepankan Isim (Isim Sabiq) dan mengakhirkan Amilnya (Fi’il atau yg serupa pengamalannya) disibukkan tentang nashabnya Isim Sabiq, sebab Amil tsb sudah beramal pada dhamir yg merujuk pada Isim Sabiq atau pada Sababnya (lafazh mudhaf pada dhamir Isim Sabiq).

Contoh Isytighal Fi’il/Amil beramal pada Dhamir yg merujuk pada Isim Sabiq:
زيدا ضربته

ZAIDAN DHOROBTU HU = Zaid, aku memukulnya*
زيدا مررت به

ZAIDAN MARORTU BIHII =Zaid, aku berpapasan dengannya*

* Seandainya Dhamir pada contoh-contoh diatas ditiadakan, niscaya Amil/Fi’il tsb beramal pada Isim Sabik sebagai Maf’ulnya yg dikedepankan, atau Mu’allaqnya yg dikedepankan.

Contoh Istighal Fi’il/Amil beramal pada Sabab Dhamir yg merujuk pada Isim Sabiq:
زيدا ضربت ابنه

ZAIDAN DHOROBTU IBNA HU = Zaid, aku memukul anaknya.


Tulisan tangan Bahauddin Ibnu 'Aqil (694-769 H). Syarah Ibnu 'Aqil 'ala Alfiyah. Sumber: www.mahaja.com



Rukun-rukun dalam susunan kalimat ISYTIGHAL ada 3:

1. Masyghuulun ‘Anhu (lafazh yg dikedepankan/isim sabik)
2. Masyghuulun (Amil yg diakhirkan, Fi’il atau serupa Fi’il)
3. Masyghuulun Bihi (Dhamir/Sabab Dhamir yg merujuk pd Isim Saabiq)

Apabila terdapat kalimat dengan bentuk susunan rukun-rukun diatas, maka asalnya lafazh yg dikedepankan/isim sabiq tersebut boleh dibaca dua jalan:
1. Rofa’ sebagai Mubtada dan jumlah sesudahnya sebagai Khobarnya. Demikian yg ROJIH karena bebas dari masalah kira-kira/taqdir.
2. Nashob sebagai Maf’ul Bih bagi ‘Amil/Fi’il yg lafazhnya wajib dibuang ditafsiri dari ‘Amil/Fi’il yg lafaznya disebutkan. Demikian yg MARJUH karena butuh terhadap kira-kira/taqdir (disinilah pembahasan ISYTIGHOL).
Fi’il yg terbuang harus ditafsiri dari Fi’il yg tersebut, baik dalam penafsiarannya mencocoki lafaz dan makna, atau mencocoki makna saja, ataupun tidak mencocoki lafaz dan makna tapi mencakup Fi’il yg tersebut. Contoh:

Contoh Fi’il yg dibuang ditakdiri mencocoki lafaz dan makna:
زيدا ضربته

ZAIDAN DHOROBTU HU = Zaid, aku memukulnya

Taqdirannya adalah:
ضربت زيدا ضربته

DHOROBTU ZAIDAN DHOROBTU HU = aku memukul Zaid yakni aku memukulnya

Contoh Fi’il yg dibuang ditakdiri mencocoki makna saja:
زيدا مررت به

ZAIDAN MARORTU BI HII = Zaid, aku berpapasan dengannya

Taqdirannya adalah:
جاوزت زيدا مررت به

JAAWAZTU ZAIDAN MARORTU BI HII = aku lewat bertemu Zaid yakni aku berpapasan dengannya.

Contoh Fi’il yg dibuang ditakdiri tidak mencocoki lafaz dan makna tapi mencakup:
زيدا ضربت ابنه

ZAIDAN DHOROBTU IBNA HU = Zaid, aku memukul anaknya.

Taqdirannya adalah:
أهنت زيدا ضربت ابنه

AHANTU ZAIDAN DHOROBTU IBNA HU = aku menghinakan Zaid yakni aku memukul anaknya*

* maka dengan demikian jumlah fi’liyah yang ada setelah Isim Sabiq tersebut disebut jumlah tafsiriyah la mahalla lahaa minal I’roob (tidak punya I’rob).

Dijelaskan perihal ISIM SABIQ yaitu: ada yg wajib nashab, rojih nashob, wajib rofa’, rojih rofa, ataupun yg tidak nashob dan rofa’ InsyaAllah akan dijelaskan pada Bait-bait selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar